Selasa, 09 September 2008

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PERADABAN ISLAM


  1. PENDAHULUAN

Sebagaimana kita ketahui bahwa agama Islam adalah salah satu agama yang terbesar di Dunia. Maka tidak heran agama Islam punya pengaruh terhadap peradaban dunia, dan menjadi sejarah bagi peradaban dunia itu sendiri.

Penyebaran agama Islam sendiri sudah dilakukan mulai dari zaman Rasulullah SAW, dilanjutkan pada zaman Khulafa ar-Rasyidin, kemudian diikuti oleh para Ulama ke berbagai pelosok dunia, mulai dari semenanjung Arabia, Benua Eropa, Asia bahkan sampai ke Nusantara, sehingga tidak heran kalau agama Islam berkembang menjadi pesat di belahan dunia. Penyebaran agama Islam itu sendiri melalui berbagai macam cara, antara lain: melalui jalur perdagangan, pernikahan, ekspansi wilayah, dan dakwah.

Di belahan Nusantara khususnya agama Islam masuk dibawa para pedagang dari Gujarat, India, di abad ke 14 Masehi. Menurut sejumlah pakar sejarah dan juga arkeolog, jauh sebelum Nabi Muhammad SAW menerima wahyu, telah terjadi kontak dagang antara para pedagang Cina, Nusantara, dan Arab. Jalur perdagangan selatan ini sudah ramai saat itu.1

Untuk itu, dalam makalah kali ini, akan dibahas bagaimana sejarah masuknya Islam di Nusantara khususnya di Sumatra? Dan bagaimana perkembangan dan peradabannya di Sumatra?








  1. PEMBAHASAN

    1. Sejarah Masuk dan Perkembangan Islam di Sumatra

Pada tahun 30 Hijriah atau tahun 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatra. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.

Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah Kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H/1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi, yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H/1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i.2

Akan tetapi, sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H/14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang kuat. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa Kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.

Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam, sebagaimana yang dikutip dalam “Sejarah Islam di Indonesia”,3 mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkan sebagai rahmatan lil'alamin.

Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah Kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang terbesar di antaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman.

Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah - terutama Belanda - menundukkan Kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang Kerajaan tersebut berhubungan dengan dunia luar kecuali melalui mereka. Maka terputuslah hubungan umat Islam Nusantara dengan umat Islam dari bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum kolonialis untuk menjauhkan umat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan pribumi.

Dari penjelasan di atas sudah jelas bahwasanya Sumatra mengawali jejak perjalanan Islam di Nusantara. Sebagaimana telah disebutkan, bahwa di bagian utara pulau ini pernah berdiri Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan Kerajaan Islam pertama di Indonesia. Bahkan sebelum Kerajaan Samudera Pasai berdiri, pada abad ke-9 pernah berdiri Kerajaan Perlak yang kemudian menggabungkan diri dengan Pasai.4

Kekayaan khazanah Islam Sumatra lalu dilanjutkan dengan berdirinya berbagai macam Kerajaan yang ada di pulau Sumatra, baik di Sumatra Barat (seperti di Padang), Sumatra Selatan (Palembang), Sumatra Utara (Medan) dan Bengkulu.

Di luar itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di banyak tempat di pulau Sumatra seperti di Padang (Sumatra Barat), Palembang (Sumatra Selatan), Medan (Sumatra Utara) dan Bengkulu. Perkembangan Islam di daerah Padang bahkan diwarnai dengan masuknya aliran Wahabi dan memberi warna khas bagi pergerakan nasional lewat golongan Padri.

Kerajaan-kerajaan inilah yang sekiranya menjadi sejarah peradaban islam di Sumatra khususnya dan di Indoneisa umumnya.


    1. Kerajaan Islam di Sumatra

Beberapa Kerajaan Islam yang berdiri di Sumatra, antara lain:

  1. Kesultanan Perlak (abad ke-9 - abad ke-13)

Kesultanan Peureulak adalah Kerajaan Islam di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh Timur, antara tahun 840 M sampai dengan tahun 1292 M. Perlak atau Peureulak terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu perlak, jenis kayu yang sangat bagus untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal dengan nama Negeri Perlak. Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, dan disinggahi oleh kapal-kapal yang antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan campur antara saudagar Muslim dengan perempuan setempat.

Perkembangan dan pergolakan

Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah, yang beraliran Syi’ah dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840 M). Ia mengubah nama ibukota Kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar Khalifah.

Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah, aliran Sunni mulai masuk ke Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913 M), terjadi perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada sultan.

Kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915 M), Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah dari aliran Syiah naik tahta. Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.

Pada tahun 362 H (956 M), setelah meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Shah Johan Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian Kerajaan menjadi dua bagian:

  1. Perlak Pesisir (Syiah) dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986988 M).

  2. Perlak Pedalaman (Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat (986–1023 M)

Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan Berdaulat yang melanjutkan perjuangan melawan Sriwijaya hingga tahun 1006 M.

  • Penggabungan dengan Samudera Pasai

Penggabungan kerjaan Perlak dengan kerajaan Samudera Pasai ditandai dengan politik persahabatan yang dilakukan oleh Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad Amin Shah II Johan Berdaulat (12301267 M) dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak, yaitu:

  1. Putri Ratna Kamala, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka, Sultan Muhammad Shah (Parameswara).

  2. Putri Ganggang, dikawinkan dengan Raja Kerajaan Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.

Sedangkan sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan Berdaulat (12671292 M). Dan setelah ia meninggal, Perlak disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.

Sultan-sultan Perlak dapat dikelompokkan menjadi dua dinasti: dinasti Syed Maulana Abdul Azis Shah dan dinasti Johan Berdaulat. Berikut daftar sultan yang pernah memerintah Perlak, diantaranya adalah:

  1. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Azis Shah (840864 M)

  2. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abdul Rahim Shah (864888 M)

  3. Sultan Alaiddin Syed Maulana Abbas Shah (888913 M)

  4. Sultan Alaiddin Syed Maulana Ali Mughat Shah (915918 M)

  5. Sultan Makhdum Alaiddin Malik Abdul Kadir Shah Johan Berdaulat (928932 M)5, dan lain sebagainya.


  1. Kesultanan Samudera Pasai (abad ke-13 - abad ke-16)

Kesultanan Samudera Pasai, atau Samudera Darussalam, adalah kerajaan Islam yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra, kurang lebih di sekitar Kota Lhokseumawe, Aceh Utara sekarang. Kerajaan ini didirikan oleh Merah Silu, yang bergelar Malik al-Saleh, pada sekitar tahun 1267 M dan berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun 1521 M. Raja pertama bernama Malik as-Saleh, kemudian dilanjutkan pemerintahannya oleh Malik at-Thahir. Setelah mati, Ia digantikan oleh Sultan Mahmmud Malik az-Zahir.


  1. Kesultanan Malaka (abad ke-14 - abad ke-17)

Kesultanan Malaka (1402-1511) adalah sebuah kesultanan yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang melarikan diri dari perebutan Palembang oleh Majapahit. Pada tahun 1402, dia mendirikan sebuah ibu Kota baru, Malaka yang terletak pada penyempitan Selat Malaka. Sebelumnya Parameswara beragama Hindu, dan kemudian memeluk agama Islam di tahun 1414 dan menjadi Sultan Malaka.

Kesultanan ini berkembang pesat menjadi sebuah entrepot dan menjadi pelabuhan terpenting di Asia Tenggara di mana kapal-kapal perniagaan dari pelbagai bangsa berkumpul, yaitu pada abad ke-15 dan awal 16. Kegemilangan yang dicapai oleh Kerajaan Malaka adalah disebabkan beberapa faktor yang penting. Diantaranya adalah, Parameswara telah mengambil kesempatan untuk menjalin hubungan baik dengan negara Tiongkok ketika Laksamana Yin Ching mengunjungi Malaka pada tahun 1402. Hubungan erat antara Malaka dengan Tiongkok telah memberi banyak manfaat kepada Malaka. Malaka mendapat perlindungan dari negara Tiongkok yang merupakan sebuah kuasa besar di dunia untuk menggalakan serangan Siam.

Kekuatan Kerajaan Melayu Malaka semakin berkembang di zaman pemerintahan Sultan Muzaffar Syah ( 1446- 1459 M) . Tentaranya berhasil menangkal serangan-serangan tentara Siam. Bahkan keadaan negara menjadi tenang dan kedudukan politiknya pun menjadi stabil.

Malaka diserang pasukan Portugis di bawah pimpinan Alfonso de Albuquerque pada 10 Agustus 1511 M dan berhasil direbut pada 24 Agustus 1511 M. Kemudian Sultan Mahmud Syah melarikan diri ke Bintan dan mendirikan ibukota baru di sana. Pada tahun 1526 Portugis membumihanguskan Bintan, dan Sultan kemudian melarikan diri ke Kampar, tempat dia wafat dua tahun kemudian. Putranya Muzaffar Syah kemudian menjadi sultan Perak, sedangkan putranya yang lain Alauddin Riayat Syah II mendirikan kerajaan baru yaitu Johor.


  1. Kesultanan Aceh (abad ke-16 - 1903)

Kesultanan Aceh Darussalam berdiri menjelang runtuhanya Samudera Pasai yang pada tahun 1360 ditaklukkan oleh Majapahit hingga kemundurannya di abad ke-14. Kesultanan Aceh terletak di utara pulau Sumatra dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamnya adalah Sultan Ali Mughayat Syah yang dinobatkan pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507 M. Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903), Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.6

Di awal-awal masa pemerintahannya wilayah Kesultanan Aceh berkembang hingga mencakup Daya, Deli, Pedir, Pasai, dan Aru. Pada tahun 1528, Ali Mughayat Syah digantikan oleh putra sulungnya yang bernama Salahuddin (1537 M), Kemudian digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568 M.7

Kesultanan Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatra, Jawa dan Borneo) serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun 1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka dengan armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut. Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu. Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Malaka dari segala penjuru, namun penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.

Tidak hanya itu saja, dalam lapangan pembinaan kesusastraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa ulama ternama, seperti Hamzah Fansuri dengan karyanya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani (Mi'raj al-Muhakikin al-Iman), Nuruddin ar-Raniry (Sirat al-Mustaqim), dan Syekh Abdul Rauf Singkili (Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil).

Kesultanan Aceh dalam perjalanannya juga mengalami kemunduran sejak kemangkatan Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya wilayah Minangkabau, Siak, Deli dan Bengkulu ke dalam pangkuan penjajahan Belanda. Faktor penting lainnya ialah adanya perebutan kekuasaan di antara pewaris tahta kesultanan.8


  1. Kerajaan Melayu Jambi

Kerajaan Dharmasraya atau Kerajaan Melayu Jambi adalah Kerajaan yang terletak di Sumatra, berdiri sekitar abad ke-11 M. Lokasinya terletak di selatan Sawahlunto, Sumatra Barat, dan di utara Jambi.

Hanya ada sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Di antaranya yang cukup terkenal adalah rajanya yang bernama Shri Tribhuana Raja Mauliwarmadhewa (1270-1297) yang menikah dengan Puti Reno Mandi. Sang raja dan permaisuri memiliki dua putri, yaitu Dara Jingga dan Dara Petak.

Setelah Kerajaan Sriwijaya musnah di tahun 1025 karena serangan Kerajaan Chola dari India, banyak bangsawan Sriwijaya yang melarikan diri ke pedalaman, terutama ke hulu sungai Batang Hari. Mereka kemudian bergabung dengan Kerajaan Melayu Tua yang sudah lebih dulu ada di daerah tersebut, dan sebelumnya merupakan daerah taklukan Kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya.


  1. Kerajaan Melayu Riau

Kerajaan Lingga-Riau atau Melayu-Riau merupakan perpecahan dari Kesultanan Johor. Pada masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan bahasa-bahasa besar lain dunia, yang kaya dengan kesusastraan dan memiliki kamus ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis.


  1. KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa islam masuk ke Nusantara pertama kali adalah di wilayah Sumatra, hal ini di karenakah wilayah tersebut sebagai jalur perdagangan Cina, Nusantara, dan Arab. Masuknya masyarakat setempat memeluk agama islam secara besar-besaran terjadi pada abad ke 9 H/14 M, hal itu dikarenakan politik ummat islam sudah mulai kuat dengan ditandai berdirinya kerajaan-kerajaan bercorak Islam. Dan disebabkan juga dengan surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu/Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda.

Adapun kerajaan-kerajaan islam yang berdiri di sumatra antara lain adalah: kerajaan Perlak (abad ke-9 - abad ke-13), Samudera Pasai (abad ke-13 - abad ke-16), Kesultanan Malaka (abad ke-14 - abad ke-17), Kesultanan Aceh (abad ke-16 - 1903), Kerajaan Melayu Jambi, dan Kerajaan Melayu Riau. Kerajaan-kerajaan itulah yang sekaligus sebagai sejarah peradaban islam di Sumatra.


  1. PENUTUP

Demikian uraian singkat mengenai sejarah perkembangan dan peradaban islam di Sumatra, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami harapkan agar makalah ini lebih komprehensif dan sistematis.



DAFTAR PUSTAKA




Anthony, Reid., Asal Usul Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005)


Denys Lombard., Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006)


Sejarah Kerajaan Aceh di MelayuOnline.com


SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006


http://infokito.wordpress.com/2007/11/14/islam-di-sumatra


http://www.kebunhikmah.com/article detail.php?artid=181


http://www.ummah.net/islam/nusantara/sejarah.html.


http://sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/proses-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara/

1 http://www.kebunhikmah.com/article detail.php?artid=181

2 http://www.ummah.net/islam/nusantara/sejarah.html

3 Ibid.

4 http://infokito.wordpress.com/2007/11/14/islam-di-sumatra

5 SKI Fakultas Adab UIN Yogyakarta, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia, Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 2006.

7 Denys Lombard., Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636), (Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006), hlm. 35

8 Anthony, Reid., Asal Usul Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatra hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 43

Tidak ada komentar: