Selasa, 09 September 2008

BAIT AL-HIKMAH DALAM KHASANAH INTELEKTUAL

  1. PENDAHULUAN

Peradaban Islam di bidang Pendidikan mengalami zaman keemasan yaitu pada masa kekuasaan Abbasiyah yang berpusat di Bagdad, berlangsung selama kurang lebih lima abad (750-1258 M).1 Pada masa itu adalah masa kejayaan Islam dalam bidang keilmuan, disamping kehebatan sistem politik, kemiliteran dan lain sebagainya, yang kesemuanya dapat kita ambil pelajaran dari sejarah itu. Untuk kepentingan pendidikan kita terfokus kepada keberhasilan tokoh-tokoh Islam dalam menjelajah keilmuan dan dengan karya-karyanya mereka, mulai dari aliran, fiqh, tafsir, ilmu hadits, teologi, filsafat sampai kepada bidang keilmuan umum seperti matematika, astronomi, sastra sampai kepada ilmu kedokteran.

Masyarakat (Abbasiyah) yang punya kesadaran tinggi akan ilmu, hal ini ditunjukkan masyarakat yang sangat antusias dalam mencari ilmu, penghargaan yang tinggi bagi para ulama, para pencari ilmu, tempat-tempat menuntut ilmu, banyaknya perpustakaan-perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum dan juga hadirnya perpustakaan Bait al-Hikmah yang disponsori oleh khalifah pada waktu yang membantu dalam menciptakan iklim akademik yang kondusif. Tak heran jika kita menemukan tokoh-tokoh besar yang lahir pada masa ini. Tradisi atau khasanah intelektual inilah yang seharusnya kita contoh, sebagai usaha sadar keilmuan kita dalam mengejar ketertinggalan dan segera lepas dari keterpurukan.

Semangat agama yang sangat menghargai ilmu pengetahuan, terekspresi pada masa kekuasaan Bani ‘Abbasiyah, khususnya pada waktu khalifah al-Ma’mun (berkuasa sejak 813-833 M). Penerjemahan buku-buku non-Arab ke dalam bahasaArab terjadi secara besar-besaran dari awal abad kedua hingga akhir abad keempat hijriyah.2 Perpustakaan besar Bait al-Hikmah didirikan oleh khalifah al-Ma’mun di Baghdad yang kemudian menjadi pusat penerjemahan dan intelektual.3

Dalam makalah ini penulis hanya membatasi kepada pembahasan seputar tradisi intelektual pada masa khalifah al-Ma’mun dengan perpustakaan yang sangat berperan pada masa ini yaitu Bait al-Hikmah, bagaimana peran lembaga Bait al-Hikmah dalam pengembangan keilmuan, faktor-faktor yang mempengaruhi dan apa saja tradisi keintelektualan yang terjadi pada masa itu?


  1. PEMBAHASAN

    1. Sejarah Singkat Khalifah al-Ma’mun

Khalifah al-Ma’mun atau nama lengkapnya Abu Ja’far Abdullah Al Ma’mun adalah salah satu putra dari Abu Ja’far Harun Ar-Rasyid (786-809 M).4 Semua putra al-Rasyid mewarisi bakat kepemimpinan dan mencintai ilmu pengetahuan yang diturunkan oleh bapaknya. Namun putranya yang terkenal dengan nama al-Ma’mun, sejak kecil sudah mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Di samping guru-gurunya yang lain, dia banyak belajar ilmu Hadits dari bapaknya sendiri Harun Ar- Rasyid, di samping mempelajari ilmu Fiqh, sastra dan tata bahasa Arab serta ilmu falsafah. Sifat-sifat kepemimpinan yang diturunkan ayahnya berkembang dalam dirinya dan muncul sebagai kepribadian yang memiliki kecerdasan tinggi, teguh dalam pendirian, logis, pemberani serta dermawan. Inilah salah satu dari kesuksesan yang dicapai oleh Harun Ar- Rasyid baik sebagai pemimpin maupun sebagai seorang ayah yang mampu menampilkan kader pengganti tangguh dan berkualitas untuk melanjutkan realisasi misi dan visinya.5

Khalifah al-Ma’mun, dikenal sebagai Khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Ia juga mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.6


    1. Kehidupan Intelektual

Kehidupan intelektual di masa Khalifah al-Ma’mun diawali dengan berkembangnya perhatian pada perumusan dan penjelasan panduan keagamaan terutama dari dua sumber utama yaitu al-Qur’an dan Hadits. Dari kedua sumber ini lalu muncullah berbagai keilmuan lainnya. Ilmu-ilmu al-Qur-an dan ilmu-ilmu hadits adalah dua serangkaian seri pengetahuan yang menjadi pokok perhatian dan fokus perhatian waktu itu. Perhatian itu bisa dilihat dengan banyaknya kitab yang ditulis untuk menjelaskan al-Qur'an. Di samping itu juga, adanya kreativitas dari seorang pemimpin dalam mengembangkan kebudayaan dan tradisi pemikiran Islam.

Tradisi yang paling berpengaruh dalam menciptakan tradisi keilmuan yang kondusif adalah gerakan penerjemahan. Gerakan terjemahan berlangsung dalam tiga fase, yaitu:

Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam bidang astronomi dan Manthiq. Fase kedua, berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga, berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya pembuatan kertas.7

Buku-buku yang diterjemahkan pada masa al-Ma’mun, terdiri dari berbagai bahasa, mulai dari bahasa Yunani, Suryani, Persia, Ibrani, India, Qibti, Nibti dan Latin.8 Keberagaman sumber pengetahuan dan kebudayaan inilah yang kemudian membentuk corak filsafat Islam selanjutnya. Dan perlu diakui bahwa di antara banyak pengetahuan dan kebudayaan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, karya-karya klasik Yunani adalah yang paling banyak menyita perhatian. Khususnya karya-karya filsuf besar Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Beberapa karya dari kebudayaan Persia dan India hanya meliputi masalah-masalah astronomi, kedokteran dan sedikit tentang ajaran-ajaran agama.9

Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas dan bukan hanya membawa kemajuan di bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma'tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra'yi, yaitu metode rasional yang lebih banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran, daripada hadits dan pendapat sahabat.10

Setidaknya ada dua motivasi yang mendorong gerakan penerjemahan pada waktu itu. Pertama, motovasi praktis dan kedua, motivasi kultural. Pada motivasi yang pertama (ba’its ‘amali), ada kebutuhan pada bangsa Arab saat itu untuk mempelajari ilmu-ilmu yang berasal dari luar Islam. Pengetahuan-pengetahuan tersebut secara praktis dapat membantu meringankan urusan-urusan yang berkenaan dengan hajat hidup umat Islam ketika itu. Yang dimaksud dengan pengetahuan-pengetahuan luar yang dibutuhkan oleh umat Islam saat itu adalah seperti ilmu-ilmu Kimia, kedokteran, fisika, matematika, dan falak (astronomi).11 Ilmu-ilmu ini secara praktis memang langsung berhubungan dengan hajat hidup umat Islam dalam menyelesaikan masalah-masalah seperti penentuan waktu Shalat, hukum faraidl (pembagian harta waris), masalah kesehatan dan lain sebagainya.

Motivasi yang kedua adalah motivasi kultural (ba’its tsaqafi). Ada kebutuhan pada masyarakat Islam untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan Persia, Yunani untuk menguatkan sistem hukum Islam dan menangkal aqidah yang datang dari luar Islam. Ketika terjadi gelombang kebudayaan luar dalam dunia Islam yang meliputi aqidah kaum Majusi (penyembah api) dan kaum Dahriah, kekhalifahan ‘Abbasiyah mengangap perlu bagi kaum muslim untuk mempelajari ilmu-ilmu logika serta sistem berpikir rasionalis lainnya untuk menangkal aqidah yang datang dari luar itu. 12Umat Islam dianjurkan untuk mempelajari logika Aristoteles, agar dapat berdebat dengan keyakinan yang datang dari luar.

Di samping gerakan penerjemahan, Tradisi berdiskusi juga telah berkembang, adanya Bait al-Hikmah sebagai tempat berkumpul untuk bertukar pikiran dan berdebat masalah keilmuan membantu dalam menciptakan suasana keilmuan yang kondusif. Dari diskusi, maka muncullah berbagai pemikiran kreatif sampai kepada aliran-aliran pemikiran seperti Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah dan lain sebagainya.13


    1. Latarbelakang Berdirinya Bait al-Hikmah

Perpustakaan adalah salah satu cara yang ditempuh dalam menyiarkan ilmu pengetahuan. Pada masa itu buku-buku sulit untuk dimiliki karena belum ada mesin percetakan sehingga penyebarannya masih melalui tulisan tangan. Sehingga wajar buku-buku yang ada hanya dimiliki atau mampu dibeli oleh golongan kaya atau yang memilki kemauan keras untuk menuntut ilmu pengetahuan. Oleh kerena itu keberadaan perpustakaan sangat menolong dan bermanfaat bagi orang-orang yang ingin menggali maupun menyebarkan ilmu pengetahuan. Berbagai buku dikumpulkan di perpustakaan dan dibuka untuk umum. Buku mempunyai nilai moril yang sangat tinggi. Keberadaan buku dimuliakan, penghargaan mereka terhadap buku-buku menjadikan mereka sangat mendukung pendirian dan keberadaan perpustakaan. Banyak perpustakaan yang tidak hanya didirikan di tempat-tempat umum oleh penguasa (khalifah), tetapi juga di rumah-rumah para pembesar dan orang kaya, karena bagaimanapun keberadaan perpustakaan akan menjadi rumah itu lebih baik bersemarak dan tuan rumahnya menjadi orang terpandang dan mulia.

Tersedianya berbagai buku serta kajian ilmiah yang dilakukan dalam perpustakaan tersebut telah menjadi salah satu bibit tumbuhnya lembaga tinggi Islam yang pertama, seperti Akademi Bait al-Hikmah di Bagdad dan Akademi Dar al-Hikmah di Cairo. Jadi keberadaan perpustakaan dalam tradisi keilmuan Islam, mempunyai peran bukan saja sebagai sarana peminjaman buku, namun sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini juga yang terjadi pada perpustakaan Bait al-Hikmah yang di samping berfungsi sebagai perpustakaan untuk merangsang gerakan penerjemahan karya-karya logika, keilmuan dan filsafat dalam bahasa Arab juga telah menjadi pusat transmisi keilmuan pada masa daulah Abbasiyah umumnya dan pada masa Khalifah al-Ma’mun Khususnya.


    1. Faktor-Faktor Pendorong Perkembangan Bait al-Hikmah

Ada beberapa faktor pendorong perkembangan Bait al-Hikmah, baik yang bersifat intern maupun ekstern.

Faktor–faktor intern yang dimaksud adalah:

  1. Terciptanya stabilitas politik, kemakmuran ekonomi dan adanya dukungan dari khalifah (pemimpin), karena mempunyai kecenderungan kepada ilmu pengetahuan, sebagai pendorong utama laju berkembangnya lembaga Bait al-Hikmah sejak masa khalifah al-Ma’mun. Khalifah ini selalu berupaya mendukung kegiatan Bait al-Hikmah, seperti memberi penghargaan tinggi bagi sarjana-sarjana yang mempunyai reputasi yang tinggi dalam bidangnya. Ia telah memberikan gaji yang cukup tinggi kepada para penerjemah yang ditugaskan di Bait al-Hikmah.

  2. Adanya kebebasan keintektualan dan interaksi positif antara orang-orang Arab Muslim dan non Muslim, serta toleransi dan suasana penuh keterbukaan.

  3. Adanya respons umat Islam terhadap usaha pengembangan Ilmu pengetahuan yang diikuti dengan adanya semangat keagamaan dan disertai pemikiran yang rasional.

  4. Menurut azzumardi Azra dalam bukunya; “Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam Tinggi”, sebagai berikut:

Kemajuan pendidikan seperti yang ada di Bait al-Hikmah, di samping didorong ajaran-ajarannya Islam yang menuntut penganutnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, juga karena kemampuan masyarakat mewujudkan situasi keilmuan yang dinamis. Pendidikan tinggi Islam tidak bersifat eksklusif, ia terbuka terhadap pikiran-pikiran non-muslim. Objektifitas keilmuan yang direfleksikan dengan penerimaan diktum-diktum ilmiah secara kritis melalui perdebatan-perdebatan intelektual meratakan jalan bagi kemajuan pikiran Islam. Pendidikan tinggi Islam sebagai pusat intelektual tidak berubah menjadi “menara gading” yang steril dan terasing dari lingkungan masyarakatnya. Ia responsif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan yang mengitarinya. Sebagaimana terlihat, ia terbuka bagi setiap pencinta Ilmu, tanpa dibarengi oleh birokrasi-birokrasi dan formalitas yang ketat.”14


  1. Adanya pertentangan di kalangan kaum muslimin sendiri dan terpecahnya mereka menjadi golongan-golongan, di mana tiap-tiap golongan berusaha untuk mempertahankan wujud dirinya, dan memerlukan bahan-bahan perdebatan. Hal ini terjadi antara Mu’tazilah dan golongan Ahl al-Sunnah wal Jama’ah.

  2. Terpadunya peranan Bait al-Hikmah sebagai lembaga penerjemahan, akademi, perpustakaan dan observatorium, menyebabkan lembaga tersebut dapat mengoptimalkan perannya dalam transmisi ilmu pengetahuan.

Sedangkan beberapa faktor ekstern yang berperan besar dalam pendirian dan pengembangan Bait al-Hikmah ini adalah:

  1. Adanya kesepakatan antara Kaisar Romawi dan Khalifah al-Ma’mun yang isinya telah memperkenankan kepada khalifah al-Ma’mun untuk menjalin berbagai buku langka peninggalan Yunani kuno yang ada di wilayah imperium Romawi dan membawa buku-buku tersebut ke Bait- al-Hikmah di Bagdad.

  2. Kesediaan orang-orang Kristen Nestorius untuk bekerja di Bait al-Hikmah dan membantu khalifah dalam menerjemahkan buku-buku asing tersebut ke dalam bahasa Arab seperti yang telah dilakukan oleh Hunain bin Ishaq dan murid-muridnya.

  3. Muncul dan berkembangnya pemikiran Yunani dan Persia yang sangat mempengaruhi model pemerintahan khalifah Abbasiyah. Sebab pemikiran tersebut sangat mendukung untuk memperkenalkan idealnya manusia mengenai pengukuhan diri kalangan aristokrasi. Seorang aristokrat haruslah seorang yang menguasai berbagai bidang pengetahuan, kepustakaan, sejarah, filsafat, dan agama.15


    1. Membangun Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam.

Jika kita perhatikan masa kejayaan Islam masa Abbasiyah umunya dan masa Khalifah al-Ma’mun khususnya, tentunya hal yang menarik kita perhatikan adalah tingginya tradisi keilmuan masyarakat. Tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/kebebasan berpikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang mereka kuasai. Bagi mereka adalah kepuasan tersendiri bisa mempunyai kekayaan ilmu.

Tradisi intelektual terlihat dari; kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau yang disponsori oleh khalifah, para ulama sengaja open hause bagi siapa saja yang datang ke rumahnya untuk membaca (mencari ilmu). Kedudukan mereka juga di mata masyarakat sangat mulia. Sedemikian cintanya masyarakat akan ilmu sampai-sampai khalifah pada waktu itu untuk merebut hati masyarakat harus memberi perhatian kepada pengembangan ilmu, jadi tidak heran khalifah mendirikan perpustakaan dan beberapa penghargaan bagi ulama atau orang-orang yang berhasil menemukan keilmuan baru.

Hasil membaca kemudian didiskusikan dan kembangkan lagi, mereka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat berdiskusi, dari sinilah memunculkan ide/keilmuan baru, terciptanya tradisi menulis, menyadarkan kebutuhan untuk berkarya yang sangat tinggi, sehingga kita bisa menikmati hasilnya dari karya-karya mereka.

Tradisi penelitian juga kita lihat dari temuan-temuan (eksperimen) ilmu dalam bidang sains; matematika; kedokteran, astronomi dan lainya. Hal ini juga kita bisa amati dari adanya observatorium yang berada di Sinjar pada masa khalifah al-Ma’mun, atau adanya sekolah khusus kedokteran di Jundishapur. Penelitian akan hadits dan lain sebagainya. Itulah Keingintahuan mereka yang sangat tinggi bukan hanya keilmuan yang bernuansa keislaman tapi juga bernuansa ilmu alam.
Kebebasan, keterbukaan berpikir dan kecintaan ilmu memotivasi kegiatan penerjemahan pada waktu itu tanpa memandang dari mana buku itu dan siapa pengarangnya, mereka tidak melihat lagi latar belakang agama, maupun bangsa (daerah), justru mereka bisa kerja sama dalam keilmuan dengan bangsa lain atau orang-orang non Islam tanpa sedikit pun takut akan hilang atau rusaknya akidah mereka.

Tradisi yang sama juga telah berkembang di tradisi keilmuan barat; motivasi mereka sangat tinggi untuk mencari ilmu, tradisi membaca dan berdiskusi tinggi, tradisi meneliti yang tinggi, keterbukaan berpikir dan kebutuhan untuk berkarya juga sangat tinggi. Teknologi dan informasi kebanyakan dikuasai oleh barat, banyak temuan dan peraih nobel pengetahuan bukan dari kalangan Islam.

Oleh karena itu, kemajuan Barat dan Islam Abbasiyah dalam hal ilmu pengetahuan yang perlu kita kembangkan untuk kemajuan di bidang pendidikan Islam. Inilah yang harus dilakukan untuk mengejar ketertinggalan dengan membangun tradisi keilmuan yang kondusif dalam lingkungan masyarakat akademis. Menciptakan tradisi membaca, tradisi menulis, berdiskusi, meneliti, keberanian untuk berpikir kreatif dan terbuka dengan keilmuan lainnya.

Problem pendidikan Islam adalah problem sistemik, kita perlu melibatkan berbagai pihak untuk bisa lepas dari keterpurukan. Mulai dari pemerintah sebagai pembuat kebijakan secara makro bagi sistem pendidikan nasional dan sebagai pengayom pelaksanaannya, lembaga pendidikan Islam, pendidik, peserta didik sampai kepada orang tua pendidik (anak didik) harus dilibatkan dengan responsibility yang tinggi.

Pemerintah menjadi faktor penting dalam membangun iklim belajar yang kondusif, yang mampu menyediakan fasilitas pendidikan yang memadai; sarana praktikum, buku dan gedung yang kondusif untuk sarana belajar dan akses pendidikan untuk warga miskin. Pemerintah harus cermat dalam menentukan anggaran pendidikan serta mengawalnya, sehingga tidak ada penyelewengan anggaran pendidikan yang hal itu mempengaruhi pelaksanaan program pendidikan.

Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektual (membaca, menulis, meneliti dan berdiskusi serta berkarya) di kampus atau di sekolah, misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang bisa mengembangkan daya pikir, kreativitas, membuat program-program lainnya untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.

Bagi orang tua membantu menciptakan suasana akademis di rumah, dengan mengarahkan mereka untuk belajar dan selalu memotivasi mereka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik, orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah terbantu oleh orang tua ketika mereka berada di luar sekolah. Antara sekolah (lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya. Hal ini memungkinkan untuk mengetahui dan selanjutnya membicarakan problem-problem pendidikan yang sedang terjadi, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk berbagai pihak Pengembangan tradisi-tradisi keintelektualan, harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar dan dari lingkup terkecil, keluarga. Jika tradisi tersebut tidak dikembangkan dari pendidikan dasar dan keluarga, maka pendidik akan kesulitan menciptakan tradisi keilmuan untuk mereka, sehingga penciptaan tradisi itu selalu terlambat untuk diterapkan. Butuh proses yang panjang dalam mewujudkannya, tapi jangan pesimis melihat wajah pendidikan Islam saat ini.


  1. KESIMPULAN DAN PENUTUP

Dari uraian di atas dapat di tarik kesimpulan bahwa, pada masa Bani Abassiyah umumnya dan masa Khalifah al-Ma’mun khususnya, Islam meraih kejayaannya. Banyak kontribusi keilmuan yang disumbangkan. Karya dan tokoh-tokohnya telah menjadi inspirasi dalam pengembangan keilmuan, oleh karena itu masa ini dikatakan sebagai masa keemasan Islam walau akhirnya peradaban Islam mengalami kemunduran dan kehancuran di bidang keilmuan bersamaan dengan berakhirnya pemerintahan Abbasiyah secara umum.

Demikian makalah ini kami sampaikan, tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan, agar makalah ini menjadi lebih sistematis dan komprehensif. Dan semoga dengan uraian di atas kita dapat mengambil hikmahnya.




DAFTAR PUSTAKA



Azumardi, Azra., Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1998


Fakhry, Majid., Sejarah Filsfat Islam Sebuah Peta Kronologis, Jakarta: Mizan, 2002


Leamen, Oliver., Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, Bandung: Mizan, 2002


Madjid, Nurcholish., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1994


Nasution, Harun., Islam Ditinjau Dari Bebabagi Aspeknya, Jakarta: UI Press, 1985


Shaliba, Jamil., Al-Falsafah Al-‘Arabiyah,Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, 1973


Yatim, Badri., Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995


Websait:

http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyyah.pdf


http://ahperpus.multiply.com/journal?&page_start=20


http://kasadaranlink.blogspot.com

1 Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1994, hal. 25

2 Jamil Shaliba, Al-Falsafah Al-‘Arabiyah,Dar al-Kitab al-Lubnani, Beirut, 1973, hal. 96

3 Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Bebabagi aspeknya, UI Press, 1985, hal. 68

4 http://muhlis.files.wordpress.com/2007/08/islam-masa-abbasiyyah.pdf

5 http://ahperpus.multiply.com/journal?&page_start=20

6 http://kasadaranlink.blogspot.com/

7 Ibid., http://kasadaranlink.blogspot.com/

8 Jamil Shaliba., Op.Cit, hlm. 95

9 Oliver Leamen, Pengantar Filsafat Islam: Sebuah Pendekatan Tematis, Mizan: Bandung, 2002, hal. 10-11

10 Badri Yatim., Sejarah Peradaban Islam, Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 56

11 Majid Fakhry, Sejarah Filsfat Islam Sebuah Peta Kronologis, Mizan, Jakarta 2002, hlm. 10-11

12 Majid Fakhry, Ibid., hlm. 12

13 Badri Yatim., Ibid, hlm. 56

14 Azra Azumardi, Esei-eseiIntelektual Muslim dan Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1998), hlm. 57

15 Ibid., http://kasadaranlink.blogspot.com/

Tidak ada komentar: