Selasa, 09 September 2008

AS-SUNNAH

  1. PENDAHULUAN

Dalam menentukan hukum suatu perkara maka al-Qur’an lah yang paling utama dijadikan sebagai pedoman. Namun jika selanjutnya al-Qur’an belum mampu memberikan kejelasan atau bahkan hukum tersebut tidak terdapat dalam al-Qur’an maka sumber yang dijadikan rujukan adalah as-Sunnah. Kerena as-Sunnah berasal dari Nabi SAW.

As-Sunnah merupakan ucapan secara lisan yang kemudian didokumentasikan dalam berbagai kitab, yang dikenal dengan sunnan atau masanid. Kitab-kitab ini tidak lagi berubah dan berkembang, akan tetapi terekan secara teratur dan terorganisir mulai dari Nabi, para sahabat, generasai sesudah sahabat atau tabi’in dan berujung pada perowi terakhir sebelum dibukukkan.1

Berikut ini akan dipaparkan tentang as-Sunnah mulai dari definisi, macam-macamnya, kehujjahan as-Sunnah, perbedaan Sunnah, Hadist, Atsar dan Khabar dan fungsi atau kedudukan as-sunnah dengan al-Qur’an.


  1. PEMBAHASAN

      1. Definisi as-Sunnah

As-Sunnah menurut bahasa artinya perjalanan, pekerjaan atau cara.2 Dr. Musthafa al-Siba’I, sebagaiman yang dikutip oleh Drs. Mundzier Suparta, berpendapat sunnah menurut bahasa adalah:

الطريقة محمودة كانت او مذحومة.

Artinya: “Jalan yang terpuji dan atau yang tercela”. 3


Sedangkan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, berpendapat bahwa sunnah bermakna jalan yang dijalani, terpuji atau tidak. Sesuatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak bai. Sebagaimana Nabi SAW bersabda:

من سن سنة حسنة فله أجرها وأخر من عمل بها إلى يوم القيامة. ومن سن سنة سيئة فعليه وزرها ووزر من عمل بها إلى يوم القيامة. (رواه البخارى ومسلم)

Artinya: “Barangsiapa mengadakan sesuatu sunnah (jalan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala orang lain yang mengerjakannya hingga hari kiamat. Dan barangsiapa mengerjakan sesuatu sunnah yang buruk, maka atasnya dosa membuat sunnah buruk itu dan dosa orang yang mengerjakannya hingga hari kiamat”. (H.R. Bukhari Muslim)


As-Sunnah menurut istilah syara’ adalah perkataan Nabi Muhammad SAW, perbuatannya, dan keterangannya, yaitu sesuatu yang dikatakan atau diperbuat oleh sahabat dan ditetapkan oleh Nabi, tiada ditegurnya sebagai bukti bahwa perbuatan itu tiada terlarang baginya.4

Dalam pengertian lain disebutkan bahwa as-Sunnah menurut istilah sayara’ adalah sesuatu yang datang dari Rasulullah SAW baik perkataan, perbuatan atau pengakuan (taqrir).5

Sunnah menurut istilah Muhadditsin (ahli-ahli Hadist) ialah segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun berupa taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW, diangkat menjadi Rasull, maupun sesudahnya. Sunnah dalam arti ini, menjadi muradif bagi perkataan hadist.

Sedangkan sunnah menurut pendapat ahli ushul fiqh adalah, segala yang dinukilkan dari Nabi SAW, baik perkataan maupun perbuatan,ataupun taqrir yang berkaitan dengan hukum. Pengertian ini sesuai dengan sabda Nabi SAW, yang berbunyi:

لقد تركت فبكم أمرين لن تضلوا ما إن تمسكتم بهما, كتاب الله وسنة رسوله. (رواه مالك)

Artinya: “Sungguh telah saya tinggalkan untukmu dua hal, tidak sekali-kali kau sesat selama berpegang kepadanya, yakni Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya”. (H.R. Malik)6

      1. Macam-macam as-Sunnah

Barikut adalah macam-macam Hadist, yaitu:

  1. Ditinjau Dari Bentuknya

Hadist ini dibagi menjadi lima, yaitu:

    1. Hadist Qauli, adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berupa perkataan atau ucapan yang memuat berbagai maksud sayara’, peristiwa atau keadaan, baik yang berkaitan dengan aqidah, sayari’ah, akhlaq maupun lainnya.

Contohnya:

لاصلاة لمن لم يقرأ بام الكتاب

Artinya: “Tidak sah shalat seseoranag yang tidak membaca ummul qur’an atau al-Qur'an-Fatikhah”.


    1. Hadist Fi’li, adalah segala yang disandarkan kepada Nabi SAW berupa perbuatannya yang sampai kepada kita.

Contohnya:

صلوا كمارايتمونى أصلى (رواه البخارى ومسلم)

Artinya: “Sahalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat”.


    1. Hadist Taqriri, adalah segala Hadist yang berupa ketetapan Nabi SAW terhadap apa yang dating dari sahabatnya. Nabi SAW membiarkan suatu perbuatan yang dilakukan oleh para sahabat setelah memenuhi beberapa sayarat baik melalui pelakunya maupun perbuatannya.

Contohnya adalah: Sikap Rasull yang membiarkan para sahabat melaksanakan perintahnya sesuai dengan penafsiran masing-masing sahabat.

    1. Hadist Hammi, adalah Hadist yang berupa hasrat Nabi SAW yang belum terealisasi seperti hasrat berpuasa tanggal 9 Asyura.

    2. Hadist Ahwali, adalah Hadist yang berupa hal ihwal Nabi SAW, yang menyangkut keadaan fisik, sifat-sifat dan kepribadiannya.7


  1. Ditinjau Dari Segi Kualitasnya

Hadist ditinjau dari segi kualitasnya dibagi menjadi dua, yaitu:

    1. Hadist Maqbul. Maqbul menurut bahasa artinya adalah ma’khuz yaitu yang diambil dan mushaadaq yaitu yang dibenarkan atau yang diterima. Sedang menurut istilah Hadist Maqbul adalah:

ماتوافرت فيه جميع شروط القبول

Artinya: “Hadist yang telah sempurna padanya, sayarat-syarat penerimaan”.


Sayarat-syarat penerimaan Hadist menjadi Hadist Maqbul, berkaitan dengan sanadnya, yaitu sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil lagi dhabit, dan juga berkaitan dengan matannya, tidak syadz dan tidak ber-illat. Hadist ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu Hadist Shahih dan Hadist Ahsan.

    1. Hadist Mardud. Mardud secara bahasa artinya yang ditolak atau yang tidak diterima. Sedangkan menurut istilah ialah: Hadist yang tidak memenuhi syarat-syarat atau sebagaian syarat Hadist Maqbul.

Tidak terpenuhinya persayaratan dimaksud bisa terjadi pada sanad dan matan. Hadist ini digolongkan dalam dua jenis, yaitu: Hadist Da’if dan Hadist Maudlu.8


  1. Ditunjau Dari Perawinya (Kuantitas)

Hadist ini dibagi menjadi tiga, yaitu:

    1. Sunnah Muttawatirah, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh Rasull SAW oleh sekumpulan perowi yang menurut kebiasaannya, individu-individunya itu tidak mungkin untuk sepakat berbohong disebabkan jumlah mereka yang banyak, sikap amanah mereka, dan berlainannya orientasi dan lingkungannya. Kemudian dari kelompok perowi ini, sejumlah perowi yang sepadan dengannya meriwayatkan sunnah itu, sehingga sunnah itu sampai kepada kita dengan sanad masing-masing tingkatan dari para perowinya yang merupakan sekumpulan orang yang tidak mungkin mengadakan kesepakatan untuk berdusta, mulai dari penerimaan sunnah dari Rasull sampai dating kepada kita.

    2. Sunnah Masyhurrah, yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasull SAW oleh seorang atau dua orang, atau tiga orang sahabatnya yang tidak mencapai jumlah twattur (perowi Hadist mutawattir), kemudian dari perowi atau para perowi ini sekumpulan orang mencapai tawattur meriwayatkannya, kemudian sekelompok perowi yang sepadan dengannya meriwayatkannya dari mereka, dan dari kelompok perowi ini, sekelompok perowi lainnya yang sepadan dengan mereka meriwayatkan as-Sunnah itu sampai kepada kita dengan suatu sannad, dimana tingkatan pertama dalam sanad itu yang mendengar perkataan Rasull atau yang menyaksikan tindakan beliau hanya satu orang, atau dua orang atau beberapa orang yang tidak mencapai jumlah kemutawatiran sedangkan tingkatan sanadnya merupakan jumlah perowi yang mutawattir.

    3. Sunnah Ahad, yaitu sunnah yang diriwayatkan dari Rasull SAW oleh p[erseorangan yang tidak mencapai jumlah kemutawatiran. Misalnya Hadist ini diriwayatkan dari Rasull SAW oleh satu orang saja, atau dua orang saja atau perowi ini, perowi yang sepadannya meriwayatkan sunnah itu. Demikian seterusnya sehingga sampai kepada kita dengan suatu sanad yang seluruh tingkatannya adalah perseorangan, bukan kelompok yang mutawatir. Diantara kategori sunnah ini adalah kebanyakan Hadist yang dihimpun di dalam kitab-kitab sunnah dan disebut dengan khabar wahid.9


      1. Perbedaan as-Sunnah, Hadist, Khabar dan Atsar

  1. Bila ditinjau dari segi subjek yang menjadi sumber aslinya, maka pengertian Hadist dan sunnah adalah sama, yakni sama-sama berasal dari Rasull SAW.

  2. Bila ditinjau dari segi kualitas amaliyah dan periwayatannya, maka Hadist berada di bawah sunnah. Sebab, Hadist merupakan suatu berita tentang suatu peristiwa yang disandarkan kepada Nabi SAW, walaupun hanya sekali saja beliau mengerjakannya dan walaupun hanya diriwayatkan oleh seorang saja. Sedang sunnah, merupakan suatu amaliyah yang terus menerus dilaksanakan oleh Nabi SAW, beserta para sahabatnya, kemudian seterusnya diamalkan oleh generasi berikutnya sampai kepada kita.

  3. Bila ditinjau dari segi kekuatan hukumnya, maka Hadist berada di bawah sunnah. Oleh karena itu, apabila lafadz-lafadz Hadist sengaja dipisah dari sunnah, kemudian diadakan urutan secara kronologis tentang sumber hokum islam, maka urutan-urutannya sebagai berikut: a). al-Qur’an; b). as-Sunnah; c). al-Hadist. Tatapi bila istilah Hadist tidak dipisahkan dari sunnah, makaurutannya adalah: a). al-Qur'an; b). as-Sunnah (al-Hadis).10

  4. Sedangkan khabar menurut bahasa berarti berita. Adapun menurut istilah, ada dua pendapat, yaitu:

    • Sebagaian ulama mengatakan, bahwa khabar itu sama/sinonim dengan Hadist. Oleh karena itu, mereka menyatakan, bahwa khabar adalah apa yang datang dari Nabi, baik yang marfu’ (yang disandarkan kepada Nabi), yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat), maupun yang maqthu’ (yang disandarkan kepada Tabi’in). Dengan kata lain, bahwa khabar itu, mencakup apa yang dapatng dari Rasull, dari sahabat dan dari tabi’in.

    • Sebagaian ulama Hadist membedakan pengertian Hadist dengan khabar. Sebagian mengatakan bahwa Hadist adalah apa yang berasal dari Nabi, sedang khabar adalah apa yang berasal dari selainnya. Oleh kerena itu, orang yang tekun pada Hadist disebut dengan “Muhadist”, sedang orang yang tekun pada sejarah/semacamnya disebut “Akhbary”.

Sebagian yang lain mengatakan, bahwa Hadist bersifat khusus sedang khabar bersifat umum. Oleh karena itu, tiap-tiap Hadist adalah khabar dan tidak setiap khabar adalah Hadist.11

  1. Atsar menurut bahasa artinya, bekas atau sisa sesuatu; dapat juga berarti nukilan atau yang dinukilkan. Karena itu, do’a yang dinukilkan dari Nabi disebut “Do’a Ma’tsur”.

Adapun menurut pengertian istilah, dapat disimpulkan pada dua pendapat, yaitu:

  1. Astar sama/sinonim dengan Hadist. Karena itu, ahli Hadist disebut juga dengan Atsary.

  2. Atsar, tidak sama dengan istilah Hadist. Menurut Fuqaha, atsar adalah perkataan-perkataan ulama salaf, sahabat, tabi’in dan lain-lain. Menurut Fuqaha Khurasan, atsar adalah perkataan sahabat. Khabar adalah Hadist Nabi. As-Sunnah-Zarkasyi, memakai istilah atsar untuk Hadist Mauquf, tetapi membolehkan juga untuk memakai istilah atsar untuk Hadist Marfu’.12


      1. Kehujjahan as-Sunnah

Bukti-bukti atas kehujjahan as-Sunnah, diantaranya sebagai berikut:

        1. Nash al-Qur'an

Banyak ayat al-Qur'an yang menerangkan tentang kewajiban mempercayai dan menerima segala yang disampaiakan oleh Rasull kepada ummatnya untuk dijadikan pegangan hidup. Diantara ayat-ayat yang dimaksud adalah:

قُلْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَالرَّسُولَ فإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّ اللّهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِينَ.

(آل عمران: ٣٢)

Artinya: Katakanlah: "Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (Q.S. Ali Imran: 32)


        1. Nash al-Hadist

عليكم بسنتى وسنة الخلفاء الراشدين المهديين كمسكوابها...

Artinya: “Wajib bagi kamu sekalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah khulafa ar-Rasyidin yang mendapat petunjuk, berpegang teguhlah kamu sekalian dengannya”.


Hadist tersebut di atas, menunjukkan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada Hadist/ menjadikan Hadist sebgaai pegangan dan pedonam hidup itu adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada al-Qur'an.

        1. Kesepakatan Ulama (Ijma’)

As-Sunnah disepakati sebagai sumber hokum islam, dan diperkuat oleh ijma para sahabat. Sebagaimana Muadz bin jabal berkata:

إن لم اجد فى كتاب الله حكم ما اقضى به قضين بسنة رسول الله

Artinya: “Jika saya tidak menemukan dalam kitb Allah hokum yang akan saya pergunakan untuk memutuskan, maka saya memutuskan hokum berdasarkan sunnah rasulullah SAW”.


        1. Sesuai dengan petunjuk akal

Ke-Rasul-an Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh ummat Islam. Bila kerasulan Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan ilham atau hasil ijtihad semata, ditempatkan sebagai sumber hokum dan pedoman hidup. Di samping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasull mengharuskan umatnya mentaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.13


      1. Fungsi dan Kedudukan as-Sunnah terhadap al-Qur'an

Berikut adalah fungsi as-Sunnah terhadap al-Qur'an, yaitu:

  1. Bayan at-Taqrir.

Disebut juga dengan bayan at-Ta’kid dan bayan al-Isbat. Yang dimaksud bayan ini adalah menetapkan dan memperkuat apa yang telah diterangkan di dalam al-Qur'an. Fungsi as-Sunnah dalah hal ini hanya memperkokoh isi kandungan al-Qur'an.

Contohnya, Hadist yang diriwayatkan Muslim dari Ibn Umar, yang berbunyi:

إذا رأيتموه فصوموا وإذا رأيتموه فأفطروا. (رواه مسلم)

Artinya: “Apabila kalian melihat (ru’yah) bulan, maka berpuasalah, juga apabila melihat (ru’yah) itu maka berbukalah”. (H.R Muslim).


Hadist ini dating mentaqrir ayat al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 185, yang berbunyi:

... فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ... (البقرة: ١٨٥)

Artinya: “…maka barangsiapa yang mempersaksikan pada waktu itu bulan, hendaklah ia berpuasa…”. (Q.S. al-Baqarah: 185)


  1. Bayan at-Tafsir.

Yang dimaksud bayan at-tafsir adalah memberikan rincian dan tafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayaat-ayat al-Qur'an yang masih mutlak, dan memberikan yakhsis (penentuan khusus) ayat-ayat al-Qur'an yang masih umum.

Conohnya hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari yang berbunyi:

صلوا كمارايتمونى أصلى (رواه البخارى ومسلم)

Artinya: “Salatlah sebagaimana engkau melihat aku shalat”. (H.R.Mukhari Muslim).


Hadist ini menjelaskan tata cara menjalankan shalat sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 43, yaitu:


وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ وَارْكَعُواْ مَعَ الرَّاكِعِينَ. (البقرة:٤٣)

Artinya: “Dan kerjakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku’lah beserta orang-orang yang ruku’.” (Q.S. al-Baqarah: 43)

  1. Bayan at-Tasyri’.

Yang dimaksud dengan bayan at-tasyri’ adalah mewujudkan suatu hukum atau ajaran-ajaran yang tidak di dapat dalam al-Qur'an.

Contohnya yaitu Hadist tentang zakat fitrah, sebagai berikut:

إن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على الناس صاعا من تمرا وصاعا من شعير على كل حر أو عبد دكر و أنثى من المسلمين.

Artinya: “Bahwasanya Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat fitrah kepada ummat Islam pada bulan Ramadhan satu sukat (sho’) kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka atau hamba, laki=laki atau perempuan muslim”.


Dari ketiga bayan tersebut di atas, telah disepakati oleh para ulama. Namun untuk bayan yang lainnya, yaitu Bayan an-Nasakh, terjadi perbedaan pendapat.

  1. Bayan an-Nasakh.

Menurut ulama muqaddimin, bahwa yang disebut dengan bayan an-nasakh adalah adanya dalil syara’ (yang dapat menghapus ketentuan yang telah ada), kerena datangnya kemudian.

Contohnya Hadist yang berbunyi:

لاوصية لوارث

Artinya: “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.

Hadist ini menurut mereka menasakh isi al-Qur'an surat al-Baqarah ayat 180, yaitu:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْراً الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقّاً عَلَى الْمُتَّقِينَ. (البقرة:١٨٠)


Artinya: “Diwajibkan atas kamu sekalian, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. al-Baqarah: 180).14



  1. KESIMPULAN

Dari uraian di atsa dapat kami simoulkan bahwa as-Sunnah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi/Rasull SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, keterangan, pengakuan (taqrir), pengajaran, sifat, kelakuan, perjalanan hidup baik yang demikian itu sebelum Nabi SAW, diangkat menjadi Rasull, maupun sesudahnya.

As-Sunnah dan Hadist pada dasarnya berbeda, akan tetapi pada perkembangannya istilah atau perkataan sunnah dan hadist mempunyai arti yang sama. Adapun macam-macam as-Sunnah (Hadist) dapat kita lihat dari berbagai segi. Ditinjau dari bentuknya, yaitu: Hadist Qauli, Fi’li, Taqriri, Hammi, dan Ahwali. Dilihat dari segi kualitasnya ada dua, yaitu Hadist Maqbul dan Mardud. Dilihat dari segi kuantitasnya (perowinya), yaitu Hadist Muttawatir, Masyhurah dan Ahad. Sedangkan kedudukan dan fungus as-Sunnah Cadalah sebagai bayan at-Taqrir, at-Tafsir, at-Tasyri dan an-Nasakh.


  1. PENUTUP

Demikian makalah yang dapat kami susun, kami sadar tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan kami. Oleh karena itu, kami mengharap saran dan kritik dari para pembaca, guna kesempurnaan penyusunan makalah ini.



DAFTAR PUSTAKA


Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Prof. Dr., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999


Fadl, Khalid M. Abou El., Atas Nama Tuhan, dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: serambi Ilmu Semesta, 2003


Ismail, M. Syuhudi Ismail, Drs., Pengantar Ilmu Hadist, Bandung: Angkasa, 1987


Khalaf, Abdul Wahab, Prof., Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Akh. Qarib, Semarang: Dina Utama, 1994


Rifa’i, Moh. Drs., Ushul Fiqh, Bandung: al-Qur'an-Ma’arif, 1973

Suparta, Munzier, Drs. MA., Ilmu Hadist, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001

1 Khalid M. Abou El Fadl., Atas Nama Tuhan, dari Fiqh Otoriter ke Fiqh Otoritatif, Terj. R. Cecep Lukman Yasin, Jakarta: serambi Ilmu Semesta, 2003, hlm. 150

2 Drs. Moh. Rifa’i., Ushul Fiqh, Bandung: al-Qur'an-Ma’arif, 1973, hlm. 118

3 Drs. Munzier Suparta MA., Ilmu Hadist, Jakarta: Raja Grafindo Persada, tth, hlm. 4

4 Drs. Munzier Suparta MA., Ibid, hlm. 119

5 Prof. Abdul Wahab Khalaf., Ilmu Ushul Fiqh, Terj. Moh. Zuhri dan Akh. Qarib, Semarang: Dina Utama, 1994, hlm. 40

6 Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy., Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1999, hlm. 5-6

7 Drs. Munzier Suparta MA., Op.Cit, hlm. 18

8 Drs. Munzier Suparta MA., Ibid, hlm. 124-125

9 Prof. Abdul Wahab Khallaf., Op.Cit, hlm. 49-51

10 Drs. M. Syuhudi Ismail., Pengantar Ilmu Hadist, Bandung: Angkasa, 1987, hlm. 15-16

11 Ibid, hlm. 9-10

12 Ibid, hlm. 10

13 Drs. Munzier Suparta MA., Op.Cit, hlm. 42-49

14 Drs. Munzier Suparta MA., Ibid, hlm. 50-56

Tidak ada komentar: