Selasa, 09 September 2008

ASBABUL NUZUL

Pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur'an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya.

Ilmu Asbabun Nuzul mempunyai pengaruh yang penting dalam memahami ayat, karenanya kebanyakan ulama begitu memperhatikan ilmu tentang Asbabun Nuzul bahkan ada yang menyusunnya secara khusus. Diantara tokoh (penyusunnya) antara lain Ali Ibnu al-Madiny guru Imam al-Bukhari r.a.

Kitab yang terkenal dalam hal ini adalah kitab Asbabun Nuzul karangan al-Wahidy sebagaimana halnya judul yang telah dikarang oleh Syaikhul Islam Ibnu Hajar. Sedangkan as-Sayuthy juga telah menyusun sebuah kitab yang lengkap lagi pula sangat bernilai dengan judul Lubabun Nuqul Fi Asbabin Nuzul.

Oleh karena pentingnya ilmu asbabun nuzul dalam ilmu Al-Qur'an guna mempertegas dan mempermudah dalam memahami ayat-ayatnya, dapatlah kami katakan bahwa diantara ayat Al-Qur'an ada yang tidak mungkin dapat dipahami atau tidak mungkin diketahui ketentuannya/hukumnya tanpa ilmu Asbabun Nuzul. Sebagai contoh firman Allah SWT:

Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 115).

Dari ayat tersebut dapat dipahami bolehnya melakukan shalat menghadap ke selain kiblat. Pemahaman seperti ini adalah salah, karena menghadap kiblat adalah salah satu syarat sahnya shalat. Dengan ilmu asbabun nuzul dapatlah dipahami secara jelas, dimana ayat di atas turun sehubungan dengan kasus seseorang yang ada dalam perjalanan dan tidak mengetahui kiblat serta arah, karena itu ia boleh berijtihad untuk memilih arah dan selanjutnya ia melakukan shalat. Ke mana saja ia menghadap dalam shalatnya maka shahlah shalatnya. Ia tidak harus mengulangi kembali disaat ia mengetahui arah yang sebenarnya andaikata salah. Dengan demikian maka ayat di atas tidaklah bersifat umum tetapi bersifat khusus bagi seseorang yang tidak mengetahui kiblat dan arah.

Contoh lain yang berhubungan dengan pentingnya ilmu Asbabun Nuzul dalam memahami ayat adalah firman Allah SWT:

Sesungguhnya khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al-Mâidah: 90).

Diantara beberapa orang sahabat Rasul bertanya: "Bagaimanakah halnya dengan orang-orang yang berperang di jalan Allah dan telah meninggal sedang mereka biasa meminum khamar padahal khamar tersebut adalah keji?". Sehubungan dengan itu maka turunlah ayat yang menjelaskan bahwa peminum khamar sebelum diharamkan, Allah memaafkannya. Ia tidak berdosa dan tidak bersalah karena Allah tidak akan memberikan hukuman atas perbuatan seorang hamba sebelum Islam atau sebelum turunnya pengharaman. Karena itu maka ayat tersebut berdasarkan susunannya dapat dipahami secara tegas terhadap haramnya minuman khamar.

Apa arti Asbabun Nuzul

Terkadang ada satu kasus (kejadian). Dari kasus tersebut turun satu atau beberapa ayat yang berhubungan dengan kasus tersebut, itulah yang disebut dengan Asbabun Nuzul. Dari segi lain, kadang-kadang ada suatu pertanyaan yang dilontarkan kepada Nabi SAW, dengan maksud minta ketegasan tentang hukum syara' atau mohon penjelasan secara terperinci tentang urusan agama, oleh karena itu turun beberaa ayat, yang demikian juga disebut Asbabun Nuzul.

Contoh peristiwa yaitu hadits yang diriwayatkan Bukhari dari Khabbab ibnul Arat r.a. ia berkata: "Saya adalah tukang besi, Saya menghutangkan kepada Ash ibnu Wail. Suatu ketika saya datang kepadanya untuk menagih piutangku". Ia menjawab: "Saya tidak akan membayar hutangku kepadamu sebelum engkau mengkufurkan Muhammad dan beralih menyembah Lata dan Uzza". Saya menjawab: "Aku tidak akan mengkufurkannya sehingga engkau dimatikan Allah dan dibangkitkan kembali". Jawab Ash Ibnu Wail: "Kalau begitu kelak aku akan mati dan dibangkitkan kembali?". "Tunggu dulu, hari ini juga akan kudatangkan harta dan anak untuk membayar hutang kepadamu". Karena kasus ini Allah menurunkan ayat:

Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat kami dan dia mengatakan pasti aku akan diberi harta dan anak. Adakah ia melihat yang ghaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah?. Sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan dan benar-benar Kami akan memperpanjang adzab untuknya dan kami akan mewarisi apa yang ia katakan itu, dan ia akan datang kepada Kami dengan seorang diri. (QS. Maryam: 77-80).

Beberapa Faedah Mengetahui Asbabun Nuzul

Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan ceritera.

Menurut anggapan mereka ilmu Asbabun Nuzul tidaklah akan mempermudah bagi orang yang mau berkecimpung dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an. Anggapan tersebut adalah salah dan tidaklah patut didengar karena tidak berdasarkan pendapat para ahli Al-Qur'an yang dikenal dengan ahli tafsir.

Di sini akan diungkap secara sekilas pendapat sebagian ulama dan kemudian akan disertakan beberapa faedah tentang ilmu Asbabun Nuzul.

Al-Wahidy berpendapat: "menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan penjelasan turunnya tidaklah mungkin."

Ibnu Daqiqil 'Ied berpendapat: "Keterangan tentang Asbabun Nuzul adalah merupakan salahsatu jalan yang tepat dalam memahami Al-Qur'an."

Ibnu Taimiyah berpendapat: "Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat, karena ilmu tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat".

Dengan demikian akan jelaslah pentingnya ilmu Asbabun Nuzul sebagai bagian dari ilmu Al-Qur'an.

Adapun faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum.

  2. Menentukan hukum (takhshish) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat itu dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.

  3. Menghindarkan prasangka yang mengatakan arti hashr dalam suatu ayat yang zhahirnya hashr.

  4. Mengetahui siapa orangnya yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu-raguan.

  5. Dan lain-lain yang ada hubungannya dengan faedah ilmu Asbaun Nuzul.

Beberapa contoh tentang faedah ilmu Asbabun Nuzul.

Pertama:
Marwan ibnul Hakam sulit dalam memahami ayat:

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang mereka telah kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksaan. (Ali Imrân: 188).

Beliau memerintahkan kepada pembantunya: "Pergilah menemui Ibnu Abbas dan katakan kepadanya, bila semua orang telah merasa puas dengan apa yang telah ada dan ingin dipuji terhadap perbuatan yang belum terbukti hasilnya pasti ia akan disiksa dan kamipun akan terkena siksa". Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya (pembantu), bahwa ia (Marwan) merasa kesulitan dalam memahami ayat tersebut dan kemudian Ibnu Abbas menjelaskannya: "Ayat tersebut turun sehubungan dengan persoalan Ahli Kitab (Yahudi) tatkala ditanya oleh Nabi SAW, tentang sesuatu persoalan dimana mereka tidak menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditanyakan, mereka mengalihkan kepada persoalan yang lain serta menganggap bahwa persoalan yang ditanyakan oleh Nabi kepadanya telah terjawab. Setelah itu mereka meminta pujian kepada Nabi, maka turunlah ayat tersebut di atas. (HR. Bukhari Muslim).

Kedua:
Urwah Ibnu Jubair juga mengalami kesulitan dalam memahami makna firman Allah SWT:

Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang beribadah Haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. (Al-Baqarah: 158).

Menurut zhahir ayat dinyatakan bahwa sa'i antara Shafa dan Marwah adalah tidak wajib, bahkan sampai Urwah ibnu Zubair mengatakan kepada bibinya Aisyah r.a.: "Hai bibiku! sesungguhnya Allah telah berfirman: "tidak mengapa baginya untuk melakukan sa'i antara keduanya", karena itu saya berpendapat bahwa "tidak apa-apa bagi orang yang melakukan Haji Umrah sekalipun tidak melakukan sa'i antara keduanya". Aisyah seraya menjawab: "Hai keponakanku! kata-katamu itu tidak benar. Andaikata maksudnya sebagaimana yang kau katakan niscaya Allah berfirman "tidak mengapa kalau tidak melakukan sa'i antara keduanya".

Setelah itu Aisyah menjelaskan: bahwasanya orang-orang Jahiliyah dahulu melakukan sa'i antara Shafa dan Marwah sedang mereka dalam sa'inya mengunjungi dua patung yang bernama Isaar yang berada di bukit Shafa dan Na'ilah yang berada di bukit Marwah. Tatkala orang-orang masuk Islam diantara kalangan sahabat ada yang merasa berkeberatan untuk melakukan sa'i antara keduanya karena khawatir campur-baur antara ibadah Islam dengan ibadah Jahiliyah. Dari itu turunlah ayat sebagai bantahan terhadap keberatan mereka (yang mengatakan) kalau-kalau tercela atau berdosa dan menyatakan wajib bagi mereka untuk melakukan sa'i karena Allah semata bukan karena berhala. Itulah sebabnya Aisyah membantah pendapat Urwah berdasarkan sebab turun ayat.

Ketiga:

Sebagian Imam mengalami kesulitan dalam memahami makna syarat dalam firman Allah SWT:

Dan perempuan-perempuan yang terhenti dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang) iddahnya maka iddah mereka adalah 3 bulan. (Ath- Thalaq: 4).

Golongan zhahiriah berpendapat bahwa Ayisah (wanita yang tidak lagi haid karena sudah lanjut usia) mereka tidak perlu masa iddah bila keayisahannya tidak diragukan lagi. Kesalahpahaman mereka nampak dengan berdasarkan Asbabun Nuzul, dimana ayat tersebut adalah merupakan khitab (ketentuan) bagi orang yang tidak mengetahui bagaimana seharusnya dalam masa iddah, serta mereka ragu apakah mereka perlu iddah atau tidak. Dari itu maka

makna " " (bila anda bingung tentang bagaimana mereka dan tidak mengerti tentang iddah mereka, maka inilah undang-undangnya). Ayat turun setelah ada sebagian shahabat yang mengatakan bahwa diantara iddah kaum wanita tidak terdapat dalam Al-Qur'an; yaitu wanita yang masih kecil dan wanita yang Ayisah. Setelah itu turunlah ayat yang menjelaskan ketentuan tentang mereka. Wallâhu a'lam.

Keempat:
Diantara contoh tentang ilmu Asbabun Nuzul sebagai sanggahan terhadap dugaan
hashr (batasan tertentu) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi'i tentang firman Allah SWT:

Katakanlah! tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An'âm: 145).

Dalam hal ini beliau mengungkapkan yang maksudnya: bahwa orang kafir ketika mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghala1kan apa yang diharamkan Allah serta mereka terlalu berlebihan, maka turunlah ayat sebagai bantahan terhadap mereka. Dengan demikian seolah-olah Allah berfirman "Yang halal hanya yang kamu anggap haram dan yang haram itu yang kamu anggap halal".

Dalam hal ini Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas melainkan sekedar menjelaskan ketentuan yang haram samasekali tidak menyinggung-nyinggung yang halal.

Imam Al-Haramain berkata "uslub ayat tersebut sangat indah. Kalau saja Imam Syafi'i tidak mengatakan pendapat yang demikian niscaya kami tidak dapat menarik kesimpulan perbedaan imam Malik dalam hal hashr/batasan hal yang diharamkan sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas".

Penjelasan dari makna ayat.

Sekedar penjelasan dari uraian di atas saya berpendapat bahwa zhahir ayat menunjukkan batasan yang haram, dimana yang haram adalah hanya yang tersebut dalam ayat di atas, padahal persoalannya tidak demikian, karena di samping yang tersebut pada ayat di atas masih ada lagi yang lain, hanya saja mengungkapannya yang berbentuk hash sedang maknanya tidak demikian, yaitu sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya dihalalkan Allah dan menghalalkan yang sebenamya diharamkan Allah.

Kelima:
Diantara faedah Asbabun Nuzul adalah untuk mengetahui nama orang yang menjadi kasus turunnya ayat agar keraguan dan kekaburan menjadi hilang, sebagaimana Marwan menduga bahwa firman Allah SWT:

Ialah diturunkan sehubungan dengan kasus Abdurrahman ibnu Abi Bakar. Aisyah membantah bahwa anggapan tersebut adalah salah, ia menjelaskan kepada Marwan tentang sebab turunnya. Adapun secara lengkap kisah tersebut sebagaimana diriwayatkan Bukhari sebagai berikut:

"Marwan adalah seorang amil (Gubernur) wilayah Madinah. Muawiyah menginginkan agar Yazid menjadi khalifah setelah kemangkatannya. Ia menulis surat kepada Marwan tentang persoalannya. Karenanya Marwan mengumpulkan rakyat dan berpidato di hadapan mereka. Dalam pidatonya ia menyebutkan nama Yazid (memfigurkan). Dalil ia menyeru untuk membaiatnya sambil berkata: "Sesungguhnya Amirul Mukminin telah diperlihatkan oleh Allah tentang pendapat yang baik dalam diri Yazid. Bila Amirul Mu'minin mengangkatnya sebagai khalifah, sungguh Abu Bakar dan Umar pun telah menjadi khalifah".

Abdurrahman menjawab: "Bukankah sistim yang demikian itu merupakan Herakliusisme?" (Maksudnya itu adalah kediktatoran seorang raja sebagaimana tindakan raja-raja Romawi). Marwan menjawab: Itu sama dengan sunah Abu Bakar dan Umar. Abdurrahman menjawab lagi "Herakliusisme". Abu Bakar dan Umar tidak mengangkat keturunan atau familinya sedangkan Muawiyah bertindak semata-mata untuk kehormatan anaknya seraya Marwan berkata "Tangkaplah ia Abdurrahman". Abdurrahman masuk ke rumah Aisyah, karena itu pengejar-pengejarnya tidak dapat menangkapnya. Setelah itu Marwan mengatakan "Dialah orang yang menjadi kasus sehingga Allah menurunkan ayat:

Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?(Al-Ahgat ayat 17)

Dari balik tabir Aisyah menjawab "Allah tidak pernah menurunkan ayat Al-Qur'an tentang kasus seseorang tertentu di antara kita kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat, andaikata aku mau menjelaskan orang yang menjadi kasus turunya ayat tesebut niscaya akan kujelaskan.

Bagaimana Cara Mengetahui Asbabun Nuzul

Asbabun Nuzul tidak bisa diketahui semata-mata dengan akal (rasio), tidak lain mengetahuinya harus berdasarkan riwayat yang shahih dan didengar langsung dari orang-orang yang mengetahui turunnya Al-Qur'an, atau dari orang-orang yang memahami Asbabun Nuzul, lalu mereka menelitinya dengan cermat, baik dari kalangan sahabat, tabi'in atau lainnya. dengan catatan pengetahuan mereka diperoleh dari ulama-ulama yang dapat dipercaya.

Ibnu Sirin mengatakan saya pernah bertanya kepada Abidah tentang satu ayat Al-Qur'an, beliau menjawab: "Bertaqwalah kepada Allah dan berkatalah yang benar sebagaimana orang-orang yang mengetahui dimana Al-Qur'an turun".

Cara mengetahui Asbabun Nuzul berupa riwayat yang shahih adalah:

  1. Apabila perawi sendiri menyatakan 1afazh sebab secara tegas. Dalam hal ini tentu merupakan nash yang nyata, seperti kata-kata perawi, "sebab turun ayat ini begini.........."

  2. Bila perawi menyatakan riwayatnya dengan memasukkan huruf "fa' ta'qibiyah" pada kata "Nazala" seperti kata-kata perawi":

riwayat yang demikian juga merupakan nash yang sharih dalam sebab Nujul

Terkadang ada suatu bentuk ungkapan yang tidak menyatakan Sebab Nuzul yang tegas seperti kata-kata perawi:

Kadang-kadang yang dimaksud dengan ungkapan tersebut adalah sebab turun, tetapi kadang-kadang pula menyatakan hukum yang terkandung dalam ayat seperti halnya az-Zarkasi dalam kitabnya Al-Burhan mengatakan "biasanya tradisi shahabat dan tabi'in bila " " mengatakan"" maksudnya adalah bahwa ayat ini adalah mengandung hukum ini bukan menyatakan suatu sebab Nuzul. Ibnu Taimiyah mengatakan: "kata-kata mereka " " terkadang menyatakan suatu sebab turun dan terkandung pula menyatakan kandungan hukum meskipun sebabnya tidak ada.

Asbabun Nuzul - Ilmu Al-Qur'an


Al-Qur'an sebagai kitab utama, mengandung ilmu yang sangat dalam. Untuk megupasnya diperlukan seorang penyelam tangguh untuk mengambil harta yang ada di dasarnya.

Ilmu tafsir bisa mendorong kita untuk mengetahui ilmu-ilmu Al-Qur'an sedikit mendalam, serta mendorong kita untuk mengetahui hal-hal yang menunjang pemahaman Al-Qur'an yang mulia ini, berupa usaha yang maksimal, kesungguhan yang optimal pembahasan yang mendalam. Kesemuanya itu harus dicurahkan dalam rangka studi di Al-Qur'an yang mulia. Betapa usaha para guru besar yang ternama dan Ulama yang terkenal, dimana mereka telah menghabiskan usia demi terjaminnya pemikiran atas wahyu yang murni sebagai pedoman/undang-undang yang berharga, sejak awal diturunkannya Al-Qur'an sampai saat kini.

Mereka pulang ke rahmatulah dengan meninggalkan kekayaan ilmu pengetahuan yang melimpah ruah untuk kita, yang sumbernya tak akan kering dan mutiaranya yang tak akan habis di sepanjang masa. Namun, sekalipun dengan penuh kesungguhan telah mereka curahkan (dari dahulu hingga sekarang), sungguh Al-Qur'an tetap merupakan lautan yang dalam dimana memerlukan penyelam yang terjun ke dalamnya untuk dapat mengambil mutiara dan permata dari dasarnya.

Para pujangga, sastrawan, cendekiawan dan penyair telah berlomba dalam mengomentari Al-Qur'an dengan mengemukakan keindahan dan kelebihannya. Rasanya kami belum menemui keterangan yang indah dan bernilai tinggi selain dari gambaran yang dibawakan oleh Muhammad (Rasulullah) ibnu Abdillah SAW. sebagal pembawa risalah, dimana beliau bersabda: "(Inilah) kitab Allah (Al-Qur'an), yang di dalamnya tertera berita/catatan sejarah jaman masa lampau (orang-orang yang sebelum kamu) dan gambaran jaman masa mendatang serta ketentuan tentang sesamamu. Ia adalah pemisah (hak dan batil) yang bukan dongeng (sandiwara). Siapa saja yang meninggalkannya niscaya akan rusak binasa dan siapa yang berpedoman dengan lainnya, niscaya akan sesat. Ia adalah petunjuk Allah yang paten, peringatan yang luas dan jalan yang lurus. Dengan berpedoman padanya hawa nafsu tak akan menyeleweng dan ucapan tidak akan bercampur baur.

Dalam menggali isinya ulama tidak merasa kenyang atau bosan bahkan sebaliknya. Keindahannya takkan hilang lantaran sering dibaca dan diulang, serta keajaiban-keajaibannya tak akan terputus. Ia adalah suatu bacaan dimana para jin tak terhenti mengagumi manakala mendengarnya, sehingga dikalangan mereka ada yang mengatakan: "Kami telah mendengarkan bacaan (Al-Qur'an) yang sungguh menakjubkan dan memberi petunjuk ke jalan yang benar karena itu kami beriman kepadanya." Barangsiapa berkata berpijak kepadanya niscaya tepat, barangsiapa yang mengamalkan isinya niscaya akan diberi jasa imbalan. Barangsiapa menetapkan hukum berdasarkan atasnya niscaya akan adil. Dan barangsiapa mengajak orang lain untuk berpegang kepadanya niscaya akan diberi petunjuk ke jalan yang lurus".

Apa yang dimaksud dengan Ilmu Al-Qur'an

Yang dimaksud dengan ilmu Al-Qur'an adalah seluruh pembahasan yang berbubungan dengan Al-Qur'anul Majid yang abadi, baik dari segi penyusunannya, pengumpulnnnya, sistimatikanya, perbedaan antara surat Makiyah dan Madaniyah, pengetahuan tentang nasikh dan mansukh, pembahasan tentang ayat-ayat yang muhkamat dan mutasyabihat, serta pembahasan-pembahasan lain yang berhubungan dan ada sangkut pautnya dengan Al-Qur'anul 'Azhim.

Adapun tujuan dari study ilmu ini ialah:
1. Agar dapat memahami Kalam Allah 'Azza Wajala, sejalan dengan keterangan dan penjelasan dari Rasul SAW, serta sejalan pula dengan keterangan yang dikutip oleh para sahabat dan thabi'in tentang interpretasi mereka prihal Al-Qur'an.
2. Agar mengetahui cara dan gaya yang dipergunakan oleh para
mufassir (ahli tafsir) dalam menafsirkan Al-Qur'an dengan disertai sekedar penjelasan tentang tokoh-tokoh ahli tafsir yang ternama serta kelebihan-kelebihannya.
3. Agar mengetahui persyaratan-persyaratan dalam menafsirkan Al-Qur'an.
4. Dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan untuk itu.

Definisi Al-Qur'an

Al-Qur'an adalah Kalam Allah yang tiada tandingannya (mu'jizat), diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril alaihis salam, ditulis dalam mushhaf-mushhaf yang disampaikan kepada kita secara mutawatir (oleh orang banyak), serta mempelajarinya merupakan suatu ibadah, dimulai dengan surat Al-Fâtihah dan ditutup dengan surat An-Nâs.

Definisi tersebut telah disepakati oleh para Ulama dan Ahli ushul. Allah menurunkan Al-Qur'an adalah untuk menjadi undang-undang bagi ummat manusia dan petunjuk serta sebagai tanda atas kebenaran Rasul dan penjelasan atas kenabian dan kerasulannya, juga sebagai alasan (hujjah) yang kuat di hari Kemudian dimana akan dinyatakan bahwa Al-Qur'an itu benar-benar diturunkan dari Dzat Yang Maha Bijaksana lagi Terpuji. Nyatalah bahwa Al-Qur'an adalah mu'jizat yang abadi yang menundukkan semua generasi dan bangsa sepanjang masa. Dalam hal ini Syauqy mengemukakan:

Para Nabi dahulu datang
membawa ayat dan hilang
sedang engkau
datang membawa
kitab abadi,
ayat-ayatnya tetap baru,
meski masa telah berlalu
dihias dengan keindahan asli
abadi dan nurani


http://almanaar.wordpress.com/2007/12/10/manfaat-mengetahui-asbabun-nuzul/

Manfaat Mengetahui Asbabun Nuzul

Ditulis pada Desember 10, 2007 oleh abu mujahid

Sebagian orang ada yang beranggapan bahwa ilmu Asbabun Nuzul tidak ada gunanya dan tidak ada pengaruhnya karena pembahasannya hanyalah berkisar pada lapangan sejarah dan ceritera.Menurut anggapan mereka ilmu Asbabun Nuzul tidaklah akan mempermudah bagi orang yang mau berkecimpung dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Anggapan tersebut adalah salah dan tidaklah patut didengar karena tidak berdasarkan pendapat para ahli Al-Qur’an yang dikenal dengan ahli tafsir.

Di sini akan diungkap secara sekilas pendapat sebagian ulama dan kemudian akan disertakan beberapa faedah tentang ilmu Asbabun Nuzul.

Al-Wahidy berpendapat: “menafsirkan ayat tanpa bertitik tolak dari sejarah dan penjelasan turunnya tidaklah mungkin.”

Ibnu Daqiqil ‘Ied berpendapat: “Keterangan tentang Asbabun Nuzul adalah merupakan salahsatu jalan yang tepat dalam memahami Al-Qur’an.”

Ibnu Taimiyah berpendapat: “Ilmu Asbabun Nuzul akan membantu dalam memahami ayat, karena ilmu tentang sebab akan menimbulkan ilmu tentang akibat”.

Dengan demikian akan jelaslah pentingnya ilmu Asbabun Nuzul sebagai bagian dari ilmu Al-Qur’an.

Adapun faedah dari ilmu Asbabun Nuzul dapat disimpulkan sebagai berikut:

  1. Mengetahui bentuk hikmah rahasia yang terkandung dalam hukum.

  2. Menentukan hukum (takhshish) dengan sebab menurut orang yang berpendapat bahwa suatu ibarat itu dinyatakan berdasarkan khususnya sebab.

  3. Menghindarkan prasangka yang mengatakan arti hashr dalam suatu ayat yang zhahirnya hashr.

  4. Mengetahui siapa orangnya yang menjadi kasus turunnya ayat serta memberikan ketegasan bila terdapat keragu-raguan.

  5. Dan lain-lain yang ada hubungannya dengan faedah ilmu Asbaun Nuzul.

Beberapa contoh tentang faedah ilmu Asbabun Nuzul.

Pertama:
Marwan ibnul Hakam sulit dalam memahami ayat:

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang bergembira dengan apa yang mereka telah kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksaan. (Ali Imrân: 188).

Beliau memerintahkan kepada pembantunya: “Pergilah menemui Ibnu Abbas dan katakan kepadanya, bila semua orang telah merasa puas dengan apa yang telah ada dan ingin dipuji terhadap perbuatan yang belum terbukti hasilnya pasti ia akan disiksa dan kamipun akan terkena siksa”. Ibnu Abbas menjelaskan kepadanya (pembantu), bahwa ia (Marwan) merasa kesulitan dalam memahami ayat tersebut dan kemudian Ibnu Abbas menjelaskannya: “Ayat tersebut turun sehubungan dengan persoalan Ahli Kitab (Yahudi) tatkala ditanya oleh Nabi SAW, tentang sesuatu persoalan dimana mereka tidak menjawab pertanyaan yang sebenarnya ditanyakan, mereka mengalihkan kepada persoalan yang lain serta menganggap bahwa persoalan yang ditanyakan oleh Nabi kepadanya telah terjawab. Setelah itu mereka meminta pujian kepada Nabi, maka turunlah ayat tersebut di atas. (HR. Bukhari Muslim).

Kedua:
Urwah Ibnu Jubair juga mengalami kesulitan dalam memahami makna firman Allah SWT:

Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah. Barangsiapa yang beribadah Haji ke Baitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. (Al-Baqarah: 158).

Menurut zhahir ayat dinyatakan bahwa sa’i antara Shafa dan Marwah adalah tidak wajib, bahkan sampai Urwah ibnu Zubair mengatakan kepada bibinya Aisyah r.a.: “Hai bibiku! sesungguhnya Allah telah berfirman: “tidak mengapa baginya untuk melakukan sa’i antara keduanya”, karena itu saya berpendapat bahwa “tidak apa-apa bagi orang yang melakukan Haji Umrah sekalipun tidak melakukan sa’i antara keduanya”. Aisyah seraya menjawab: “Hai keponakanku! kata-katamu itu tidak benar. Andaikata maksudnya sebagaimana yang kau katakan niscaya Allah berfirman “tidak mengapa kalau tidak melakukan sa’i antara keduanya”.

Setelah itu Aisyah menjelaskan: bahwasanya orang-orang Jahiliyah dahulu melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah sedang mereka dalam sa’inya mengunjungi dua patung yang bernama Isaar yang berada di bukit Shafa dan Na’ilah yang berada di bukit Marwah. Tatkala orang-orang masuk Islam diantara kalangan sahabat ada yang merasa berkeberatan untuk melakukan sa’i antara keduanya karena khawatir campur-baur antara ibadah Islam dengan ibadah Jahiliyah. Dari itu turunlah ayat sebagai bantahan terhadap keberatan mereka (yang mengatakan) kalau-kalau tercela atau berdosa dan menyatakan wajib bagi mereka untuk melakukan sa’i karena Allah semata bukan karena berhala. Itulah sebabnya Aisyah membantah pendapat Urwah berdasarkan sebab turun ayat.

Ketiga:

Sebagian Imam mengalami kesulitan dalam memahami makna syarat dalam firman Allah SWT:

Dan perempuan-perempuan yang terhenti dari haid diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang) iddahnya maka iddah mereka adalah 3 bulan. (Ath- Thalaq: 4).

Golongan zhahiriah berpendapat bahwa Ayisah (wanita yang tidak lagi haid karena sudah lanjut usia) mereka tidak perlu masa iddah bila keayisahannya tidak diragukan lagi. Kesalahpahaman mereka nampak dengan berdasarkan Asbabun Nuzul, dimana ayat tersebut adalah merupakan khitab (ketentuan) bagi orang yang tidak mengetahui bagaimana seharusnya dalam masa iddah, serta mereka ragu apakah mereka perlu iddah atau tidak. Dari itu maka

makna “ ” (bila anda bingung tentang bagaimana mereka dan tidak mengerti tentang iddah mereka, maka inilah undang-undangnya). Ayat turun setelah ada sebagian shahabat yang mengatakan bahwa diantara iddah kaum wanita tidak terdapat dalam Al-Qur’an; yaitu wanita yang masih kecil dan wanita yang Ayisah. Setelah itu turunlah ayat yang menjelaskan ketentuan tentang mereka. Wallâhu a’lam.

Keempat:
Diantara contoh tentang ilmu Asbabun Nuzul sebagai sanggahan terhadap dugaan hashr (batasan tertentu) sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Syafi’i tentang firman Allah SWT:

Katakanlah! tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. (Al-An’âm: 145).

Dalam hal ini beliau mengungkapkan yang maksudnya: bahwa orang kafir ketika mengharamkan sesuatu yang dihalalkan Allah dan menghala1kan apa yang diharamkan Allah serta mereka terlalu berlebihan, maka turunlah ayat sebagai bantahan terhadap mereka. Dengan demikian seolah-olah Allah berfirman “Yang halal hanya yang kamu anggap haram dan yang haram itu yang kamu anggap halal”.

Dalam hal ini Allah tidak bermaksud menetapkan kebalikan dari ketentuan di atas melainkan sekedar menjelaskan ketentuan yang haram samasekali tidak menyinggung-nyinggung yang halal.

Imam Al-Haramain berkata “uslub ayat tersebut sangat indah. Kalau saja Imam Syafi’i tidak mengatakan pendapat yang demikian niscaya kami tidak dapat menarik kesimpulan perbedaan imam Malik dalam hal hashr/batasan hal yang diharamkan sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas”.

Penjelasan dari makna ayat.

Sekedar penjelasan dari uraian di atas saya berpendapat bahwa zhahir ayat menunjukkan batasan yang haram, dimana yang haram adalah hanya yang tersebut dalam ayat di atas, padahal persoalannya tidak demikian, karena di samping yang tersebut pada ayat di atas masih ada lagi yang lain, hanya saja mengungkapannya yang berbentuk hash sedang maknanya tidak demikian, yaitu sebagai bantahan terhadap orang-orang musyrik yang mengharamkan sesuatu yang sebenarnya dihalalkan Allah dan menghalalkan yang sebenamya diharamkan Allah.

Kelima:
Diantara faedah Asbabun Nuzul adalah untuk mengetahui nama orang yang menjadi kasus turunnya ayat agar keraguan dan kekaburan menjadi hilang, sebagaimana Marwan menduga bahwa firman Allah SWT:

Ialah diturunkan sehubungan dengan kasus Abdurrahman ibnu Abi Bakar. Aisyah membantah bahwa anggapan tersebut adalah salah, ia menjelaskan kepada Marwan tentang sebab turunnya. Adapun secara lengkap kisah tersebut sebagaimana diriwayatkan Bukhari sebagai berikut:

“Marwan adalah seorang amil (Gubernur) wilayah Madinah. Muawiyah menginginkan agar Yazid menjadi khalifah setelah kemangkatannya. Ia menulis surat kepada Marwan tentang persoalannya. Karenanya Marwan mengumpulkan rakyat dan berpidato di hadapan mereka. Dalam pidatonya ia menyebutkan nama Yazid (memfigurkan). Dalil ia menyeru untuk membaiatnya sambil berkata: “Sesungguhnya Amirul Mukminin telah diperlihatkan oleh Allah tentang pendapat yang baik dalam diri Yazid. Bila Amirul Mu’minin mengangkatnya sebagai khalifah, sungguh Abu Bakar dan Umar pun telah menjadi khalifah”.

Abdurrahman menjawab: “Bukankah sistim yang demikian itu merupakan Herakliusisme?” (Maksudnya itu adalah kediktatoran seorang raja sebagaimana tindakan raja-raja Romawi). Marwan menjawab: Itu sama dengan sunah Abu Bakar dan Umar. Abdurrahman menjawab lagi “Herakliusisme”. Abu Bakar dan Umar tidak mengangkat keturunan atau familinya sedangkan Muawiyah bertindak semata-mata untuk kehormatan anaknya seraya Marwan berkata “Tangkaplah ia Abdurrahman”. Abdurrahman masuk ke rumah Aisyah, karena itu pengejar-pengejarnya tidak dapat menangkapnya. Setelah itu Marwan mengatakan “Dialah orang yang menjadi kasus sehingga Allah menurunkan ayat:

Dan orang yang berkata kepada kedua ibu bapaknya cis bagi kamu keduanya, apakah kamu keduanya memperingatkan kepadaku bahwa aku akan dibangkitkan padahal sungguh telah berlalu beberapa umat sebelumku?(Al-Ahqaf ayat 17)

Dari balik tabir Aisyah menjawab “Allah tidak pernah menurunkan ayat Al-Qur’an tentang kasus seseorang tertentu di antara kita kecuali ayat yang melepaskan aku dari tuduhan berbuat jahat, andaikata aku mau menjelaskan orang yang menjadi kasus turunya ayat tesebut niscaya akan kujelaskan.

sumber: http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/3/1/pustaka-72.html

Tidak ada komentar: